Penggunaan media sosial dengan segala macam variannya seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Youtube dan sebagainya untuk kepentingan strategi komunikasi politik terakhir ini menjadi perhatian publik.
Utamanya oleh para kandidat calon presiden atau legislator dengan tujuan untuk membangun dan membentuk opini publik sekaligus dapat digunakan untuk memobilisasi dukungan politik secara massif.
Hal ini dapat dilihat pada saat kampanye Barac Obama tahun 2008 yang banyak menyita perhatian publik kala itu. Barac Obama bersama dengan timnya kala itu berhasil menyusun konsep kampanye yang efektif melalui media sosial untuk menyampaikan program dan kegiatan kampanyenya kepada publik, sehingga berhasil mengantarkan Barac Obama menjadi Presiden Amerika Serikat.
Sementara di Indonesia sendiri penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye menjadi marak pada saat pemilihan Presiden 2014 dan terus berlanjut hingga Pemilu 2019.
Kondisi ini dapat kita amati dari topik perbincangan yang hangat dan mendominasi laman media sosial saat ini yaitu terkait dengan masalah pemilihan presiden yang menimbulkan polemik atau pro kontra dari warga internet (netizen).
Berkenaan dengan argumentasi tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan media sosial dalam kontestasi politik telah menjadi sarana komunikasi politik yang efektif.
Utamanya dalam hal penyampaian visi, misi, program, dan kegiatan dari para kandidat atau calon kepada pendukung atau konstituennya.
Tidak hanya itu media sosial dapat pula menjadi sarana untuk membangun relasi politik dan partisipasi politik masyarakat dalam pemilu, sekaligus menjadi saluran
penyampaian informasi tentang terjadinya kecurangan atau pelanggaran pada setiap tahapan pelaksanaan pemilu oleh masyarakat.
Hal ini mengingat jumlah pengguna dari media sosial yang sangat besar jumlahnya. Di tengah gempuran dan pertarungan sengit penggunaan media sosial dalam kontestasi politik khususnya terkait dengan pemilihan presiden 2019 saat ini, menunjukkan adanya keadaan yang tidak sehat yakni adanya penyebaran informasi yang tidak valid (sampah), berita bohong (hoaks), kampanye negatif (black campaign), dan bahkan yang sangat memprihatinkan adalah para netizen seringkali saling hujat, sindir, dan memaki hanya karena berbeda pilihan.
Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan dan harus segara diakhiri untuk menghindari terjadinya polarisasi, resistensi, dan friksi dari para pendukung.
Dengan melihat fenomena tersebut, maka diperlukan kesadaran dan kedewasaan para elite politik dan masyarakat dalam menggunakan media sosial sehingga kondusifitas perpolitikan kita dapat berjalan dengan tenang dan damai tanpa ada provokasi atau adu domba dari pihak-pihak yang tidak betanggung jawab.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan media sosial baik oleh para kandidat atau tim sukses maupun pendukung, maka diperlukan langkah-langkah konkret.
Di antaranya, pertama penerapan peraturan perundang-undangan secara tegas, konsisten, dan adil baik yang diatur dalam hukum pidana maupun secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Eletronik dan perubahannya. Termasuk peraturan perundang-undangan lainnya yang ada hubungannya dengan pelanggaran atau tindak pidana tersebut.
Kedua, adanya patroli cyber yang dilakukan oleh instansi/lembaga yang berwenang terhadap konten-konten yang mengandung unsur bohong (hoaks), SARA, dan pelanggaran lainnya. Ketiga, melakukan check and re check atau tabayyun terhadap setiap berita atau informasi yang diterima melalui media sosial baik yang terkait dengan sumber berita/pemberi pesan maupun isi/kontennya
Keempat, membangun tradisi penggunaan media sosial secara bijak, bertanggung jawab dan bermartabat.
Akhirnya perlu disadari oleh kita semua bahwa hakikat penggunaan media sosial dalam kontestasi politik dimaksudkan untuk menguatkan dan meningkat kualitas demokrasi kita, bukan malah sebaliknya justru melemahkan dan memporak-porandakan bangunan demokrasi yang telah berdiri karena sangat mahal dan akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara jika hal ini kita biarkan
Oleh : Alifia Fridayanti
Ilmu pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang
Social Plugin